Assalamu'alaikum . selamat berjumpa dengan blog Santri Moderat. Pada kesempatan inisaya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi D. Zawawi Imron .Langsung saja ya….
D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Dia mulai terkenal di percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982.
Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku terbaik yang diterima oleh Yayasan Buku Utama pada tahun 1985.
Pada tahun 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam kerangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Saat ini ia menjadi Pesantren Ilmu Giri Anggota Dewan Pengasuh (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Seminar Pembicara Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai Budayawan Madura.
Pada tahun 2012 dia menerima penghargaan “The SEA Write Award” di Bangkok, Thailand, The SEA Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan untuk para penulis di kawasan ASEAN. Selain itu pada tahun 2012, pada bulan Juli, dia juga meluncurkan buku puisinya yang berjudul "Mata Badik Mata Puisi" di Makassar, mengumpulkan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
IBU
jika aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur, sumur, daunan pun, bersama
saja, ulang mataair airmatamu ibu, yang tetap efisien ketika
aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan dipulihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak bisa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang memenuhi aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk ditanggapi kurang baik membantu
akumu ibarat samudra jauh
lauitan teduh
tempatku mandi, lumut
ditayangkan tempatku naik, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua
bagiku ikut ujian yang lalu bertanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dulu
lantaran aku tahu
melahirkan ibu dan aku anakmu saat
aku pergi lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah akan, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang meminta
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
sumur, sumur, daunan pun, bersama
saja, ulang mataair airmatamu ibu, yang tetap efisien ketika
aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan dipulihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak bisa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang memenuhi aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk ditanggapi kurang baik membantu
akumu ibarat samudra jauh
lauitan teduh
tempatku mandi, lumut
ditayangkan tempatku naik, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua
bagiku ikut ujian yang lalu bertanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dulu
lantaran aku tahu
melahirkan ibu dan aku anakmu saat
aku pergi lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah akan, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang meminta
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
(1966)
SENANDUNG NELAYAN
angin yang sekarang letih
bersujud di pelupuk ibu
laut! apakah pada debur ombakmu
terangkum sunyi ajalku?
oi, buih-buih zaman saling memburu
kali ini doaku lumpuh
gagal mengusap tujuh penjuru
pada siapa 'kan kulepas napas cemburu?
jika disebut air mata adalah permata
tolong simpan di jantung telukmu!
dari bisik ke bisik perahu beringsut maju
jika nanti bulan datang menyingkap puzzle-tekimu
tak sia-sia kujilat luka purba
tempat senyum menetas
jadi iman dan layar
(1976)
BULAN TERTUSUK LALANG
Bulan Tertusuk Lalang
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
kelelawar cicit-cicit
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian
(1978)
KERAPAN
1
saronen itu ditiup orang
darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi
sarapan siang
Biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkut
orang ke sampan
sampai kapan ya, ujung lalang itu mengakhiri awan?
ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang
tapi ekorku panjang disentak anak di bumi
sampai aku turun kembali
2
tanduk yang dibungkus beludru itu tidak dibuka, nanti matahari pecah olehnya
mendung, wahai mendung!
jangan curahkan tangismu
sebelum daun jati sempurna ranggasnya
maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul
dan jika putus nadimu, jangan khawatir
denyutmu akan terus hidup di laut
3
Datang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis
kemenangan
arya wiraraja! meminta aku menang
aku meloncat dan terjun di lapangan
aku tertidur dan mimpiku aneh,
kuterima piala
terdiri dari tengkorak
yang dari dalam berdentang sebuah lonceng
4
sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis
suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
larimu kencang melangkahi rindu jadi topan senang
mengecup dahimu
jangan mungkir, bulan harus tidur dalam hatimu
bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu
bila kau tak sanggup berpacu lagi
dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu
5
soronen itu masih saja ditiup orang
embun terangkat, kaki-kaki mengalir
dari saujana ke saujana
tuhan!
tanah lapang tidak perlu jauh
(1978)
PERJALANAN LAUT
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang akan
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi,
ular pada saat menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
kompilasi kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
memulihkan teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, memainkan malam api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang-kadang menyimpan atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi,
ular pada saat menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
kompilasi kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
memulihkan teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, memainkan malam api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang-kadang menyimpan atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
(1978)
KETEMU JUGA AKHIRNYA
kucari sosok tubuhmu
pada bias sukma di langit
Meski langit tak mungkin menjadi kenangan indah
nyatanya kau termangu di tikung sungai
merenungi percakapan daging dan tulang
ketemu juga akhirnya
bayang-bayang yang akan kekal
terkatung pada nyanyian penyesalan
jika besok kubangun bendungan di sungai hijau
maka air harus mengalir
Menerima roh-roh yang belum pulang
(1979)
Kolam
kutunjukkan padamu sebuah kolam
hai, jangan tergesa bawa menyelam!
di situ sedang mekar setangkai kata
yang para pendeta tak tahu maknanya
Dari hasil petualangan capung yang biru itu?
ia datang tanpa salam dan pergi tanpa pamitan
tapi ekornya
jelas menuding pusat keheningan
kompilasi langit jadi gulita
senandung malam makin mendasar
dari kolam itu tumbuh keikhlasan
Bertujuan sujud yang paling tunjam
(1979)
DI BUKIT WAHYU
Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku ingin tahu yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
"Kun!" Perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari kembali ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari kepodang di pohon kenanga.
(1979)
SUNGAI KECIL
sungai kecil, sungai kecil! apa yang bisa kulakukan?
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di daunmu
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di negara asalmu
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani dengan
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi juga menikmati sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah ke rongga jantungku
dan jika kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutambah buat kekasihku.
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di daunmu
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di negara asalmu
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani dengan
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi juga menikmati sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah ke rongga jantungku
dan jika kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutambah buat kekasihku.
(1980)
ZIKIR
alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu Tegak Jadi Cagak, meliut Jadi belut
Hilang Jadi angan, Tinggal bekas menetaskan terang
Hingga aku berkesiur
PADA angin Kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah Matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu satu tegak
di mana-mana
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu Tegak Jadi Cagak, meliut Jadi belut
Hilang Jadi angan, Tinggal bekas menetaskan terang
Hingga aku berkesiur
PADA angin Kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah Matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu satu tegak
di mana-mana
(1983)
DIALOG BUKIT KEMBOJA
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pendapatnya tua meminta jarum cemburu
meminta, mengatakan aku berdoa di kubur itu
"Aku anak almarhum," jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menghemat bekas sayatan waktu
"Lewat berpuluh kemarau harus
kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku ”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar di lembar bunga basah
“ Anakku mati di medan pertempuran,
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Saat itu lagu jadi agung di
derap pada bercak darah yang lebih lenyap ”
Jadi di lembah membias rasa syukur Di
hijau ladang sayur, bebas laut debur
“ Aku sudah mulai mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ADA Yang industri tahu
Sedangkan Aku Ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
differences gugurnya: Mati Yang direnungkan melati
Kubur Suami memadailah, mewakilinya untuk review”
“TAPI ayahku sepi pahlawan
Tutur orangutan terdekat, Saat besarbesaran wafat
jasadnya Hanya Satu Tingkat di differences ngengat
TAPI besarbesaran Tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu ”
“ Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku ke musuh jadi luruh ”
Sore pergi ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“ Hormatku padamu, nenek! KARENA Engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku Apa Saja, kata ATAU Senjata “!
‘Aku orangutan Tak Bisa Memberi, padamu bisaku cuma Minta:
JIKA Engkau bambu, jadilah Saja Bambu Runcing
! Jangan sembilu, ATAU Yang membungkuk Depan sembilu’
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di
bawahnya untuk memberi hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak seperti untuk palu
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pendapatnya tua meminta jarum cemburu
meminta, mengatakan aku berdoa di kubur itu
"Aku anak almarhum," jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menghemat bekas sayatan waktu
"Lewat berpuluh kemarau harus
kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku ”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar di lembar bunga basah
“ Anakku mati di medan pertempuran,
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Saat itu lagu jadi agung di
derap pada bercak darah yang lebih lenyap ”
Jadi di lembah membias rasa syukur Di
hijau ladang sayur, bebas laut debur
“ Aku sudah mulai mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ADA Yang industri tahu
Sedangkan Aku Ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
differences gugurnya: Mati Yang direnungkan melati
Kubur Suami memadailah, mewakilinya untuk review”
“TAPI ayahku sepi pahlawan
Tutur orangutan terdekat, Saat besarbesaran wafat
jasadnya Hanya Satu Tingkat di differences ngengat
TAPI besarbesaran Tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu ”
“ Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku ke musuh jadi luruh ”
Sore pergi ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“ Hormatku padamu, nenek! KARENA Engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku Apa Saja, kata ATAU Senjata “!
‘Aku orangutan Tak Bisa Memberi, padamu bisaku cuma Minta:
JIKA Engkau bambu, jadilah Saja Bambu Runcing
! Jangan sembilu, ATAU Yang membungkuk Depan sembilu’
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di
bawahnya untuk memberi hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak seperti untuk palu
(1995)
HANYA SEUTAS PAMOR BADIK
Dalam tubuhku Kau nyalakan dahaga hijau
Darah Terbakar nyaris Ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati Malam
Bintang-Bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika Kau Tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata Aku Bukan Pengembara
Kata-kata Dan Peristiwa
Telah lebur PADA Makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
Darah Terbakar nyaris Ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati Malam
Bintang-Bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika Kau Tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata Aku Bukan Pengembara
Kata-kata Dan Peristiwa
Telah lebur PADA Makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
SEBUAH ISTANA
Tepi jalan antara sorga dan
neraka Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela di sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak tahu '
mengapa orang-orang-orang-orang yang membantah-mukul perutnya
Jauh di dalam batas gaib dan benar-benar
Kabut
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
neraka Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela di sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak tahu '
mengapa orang-orang-orang-orang yang membantah-mukul perutnya
Jauh di dalam batas gaib dan benar-benar
Kabut
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
TELUK
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga
Berkendara seribu Pencalang
Ke arah airmata menjelma Tiger
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal yang didukung
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga
Berkendara seribu Pencalang
Ke arah airmata menjelma Tiger
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal yang didukung
MENYANDARKAN DIRI KE PILAR
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih berduri bintang-bintang
Titik aku akan melengkung
Ternyata tengah -
tengah tangga menuju sorga akan naik di tempat ini
Memang aku tahu
jasnya terasa kelopak duka
Tapi Aku masih punya sisa gerak
Masih bergerak mungkin dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih berduri bintang-bintang
Titik aku akan melengkung
Ternyata tengah -
tengah tangga menuju sorga akan naik di tempat ini
Memang aku tahu
jasnya terasa kelopak duka
Tapi Aku masih punya sisa gerak
Masih bergerak mungkin dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
DARI KANDANG KE LADANG
Buat Anang Rahman
Sekitar tempat itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung
rentang Menyiduk-nyiduk gelagat danau
(Anak-anak lapar menjilat langit biru
menuntut sujudku Diperbesar
Siang itu tersiram susu
Mesjidku tinggi
Tegak di delta sungai jiwaku
Di sini 'kan kuambil sejuta bisik
Buat mengetuk semesta pintu)
Dari tempat itu
Berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha di
Tempat cuci perasaan
Sekitar tempat itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung
rentang Menyiduk-nyiduk gelagat danau
(Anak-anak lapar menjilat langit biru
menuntut sujudku Diperbesar
Siang itu tersiram susu
Mesjidku tinggi
Tegak di delta sungai jiwaku
Di sini 'kan kuambil sejuta bisik
Buat mengetuk semesta pintu)
Dari tempat itu
Berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha di
Tempat cuci perasaan
PADANG HIJAU
Sejuk punah singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sakit memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat udara laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa tiba tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sakit memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat udara laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa tiba tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
ZIARAH
Terkenang Sultan Hasanudin
Ah debu Namanya
Yang menyayikan Daunan gugur
Gelisah mengomel-mengomel terasa Anda
PADA siang di pekuburan
Dan gadis-gadis Datang
Menjelma selendang ungu
SEMENTARA di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu also Namanya
Yang mengabarkan Ziarah ITU
Siang Jadi Berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun
Hanya menunggu Sangkakala
Ah debu Namanya
Yang menyayikan Daunan gugur
Gelisah mengomel-mengomel terasa Anda
PADA siang di pekuburan
Dan gadis-gadis Datang
Menjelma selendang ungu
SEMENTARA di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu also Namanya
Yang mengabarkan Ziarah ITU
Siang Jadi Berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun
Hanya menunggu Sangkakala
PERCAKAPAN DI SATU DESA
Nanti malam, apa jadi pulang ke rumah?
Isteriku membuat dodol biji mangga
Kita makan di halaman
Berdua kita pecaahkan
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang
Buat atap gubukku
Ajaklah Sidun, aku senang
Lantaran ketawanya yang menggelegar dapat
mengganjal jiwaku yang sedang lapar
Nanti malam, apa bisa jadi rumah?
Di bawah bulan yang mulai pulih dari gerhana
Sambil menunggu gerhana bulan
Bagaimana bisa kutebus
Sawah ladangku yang masih tergadai
Isteriku membuat dodol biji mangga
Kita makan di halaman
Berdua kita pecaahkan
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang
Buat atap gubukku
Ajaklah Sidun, aku senang
Lantaran ketawanya yang menggelegar dapat
mengganjal jiwaku yang sedang lapar
Nanti malam, apa bisa jadi rumah?
Di bawah bulan yang mulai pulih dari gerhana
Sambil menunggu gerhana bulan
Bagaimana bisa kutebus
Sawah ladangku yang masih tergadai
KAFILAH NURANI I
Sesal Dan Lelah
Memang Milik Manusia
Menang Dan Kalah
Kita terima DENGAN senyum Yang Lega
Derap Yang Mengalir di dasar dasar sungai purba
Sebut Saja airmata arwah
Meminum Jangan SETETES
Sebab dahaga can also menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai Senyummu mawar
Dan matamu sinar Yang Pijar
Saat langit Dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah,
Kau Kau badik cahaya dari sarung sejarah
Memang Milik Manusia
Menang Dan Kalah
Kita terima DENGAN senyum Yang Lega
Derap Yang Mengalir di dasar dasar sungai purba
Sebut Saja airmata arwah
Meminum Jangan SETETES
Sebab dahaga can also menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai Senyummu mawar
Dan matamu sinar Yang Pijar
Saat langit Dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah,
Kau Kau badik cahaya dari sarung sejarah
SARANG
Cahaya senja Yang merah
Sampai also Ke hearts KAMAR
Menjagakan kelewang Yang Tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka Perang pun Mulai
Bayang-bayang Yang Kabur PADA Dinding
Melarikan berita Ke ombak gasing
Aku Hanyalah Kegelapan
Yang mendesah Ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak Darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari
kabut Kelewang itu diam
Menikmati madu di danau hati
Sampai also Ke hearts KAMAR
Menjagakan kelewang Yang Tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka Perang pun Mulai
Bayang-bayang Yang Kabur PADA Dinding
Melarikan berita Ke ombak gasing
Aku Hanyalah Kegelapan
Yang mendesah Ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak Darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari
kabut Kelewang itu diam
Menikmati madu di danau hati
LOSARI TENGAH MALAM
Dengan Putera-puteri Arsal
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keselamatan
Masih juga keselamatan bulan
Untuk perbincangan kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman juga telah
bertukar Yang dulu dapat dibeli
Sekarang pisang makan, O, sejarah!
Kubiarkan diriku Hanyut
Ke laut lain Tempat Bintang-Bintang Berlayar
Kami Ingin bercakap Sampai Parau
Bukan KARENA Risau
PADA menyanyikan Waktu Yang Bagaikan lautan Tenang
Kami Harus menyalakan Gelombang
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keselamatan
Masih juga keselamatan bulan
Untuk perbincangan kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman juga telah
bertukar Yang dulu dapat dibeli
Sekarang pisang makan, O, sejarah!
Kubiarkan diriku Hanyut
Ke laut lain Tempat Bintang-Bintang Berlayar
Kami Ingin bercakap Sampai Parau
Bukan KARENA Risau
PADA menyanyikan Waktu Yang Bagaikan lautan Tenang
Kami Harus menyalakan Gelombang
HUTAN
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang bergerak mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini kau sebagai pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di batu
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang bergerak mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini kau sebagai pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di batu
MADURA AKULAH DARAHMU
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
tergantung mengeram di dalam cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang anak-anak bungumu sekarang
kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah lihat
aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah yang mengandung
biru langit moyangku, ditambal emas
tambang, arakan parau sekarat tujuh negara di
sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku kalau perlu
musim dingin
kubasahi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
kubajak Kau DENGAN tanduk logamku
di Atas Bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
Yang menetas Dari senyum Dan airmatamu
aku lari Mengejar ombak aku terbang Memeluk Bulan
Dan memetik Bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di Ubun langit kuucapkan sumpah
- madura, akulah darahmu.
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
tergantung mengeram di dalam cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang anak-anak bungumu sekarang
kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah lihat
aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah yang mengandung
biru langit moyangku, ditambal emas
tambang, arakan parau sekarat tujuh negara di
sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku kalau perlu
musim dingin
kubasahi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
kubajak Kau DENGAN tanduk logamku
di Atas Bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
Yang menetas Dari senyum Dan airmatamu
aku lari Mengejar ombak aku terbang Memeluk Bulan
Dan memetik Bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di Ubun langit kuucapkan sumpah
- madura, akulah darahmu.
TEMBANG DAHAGA
airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti sejak kapan saja dimulai
gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga saat ini
tak ada pemah dusta?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti sejak kapan saja dimulai
gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga saat ini
tak ada pemah dusta?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya
KUPERAM SUKMAKU
kuperam sukmaku di ketiak karang
kusemai benihmu dalam lambai dan salam
cambuk ombak melecut hari.
lahirlah sapi Yang menanduk kebosanan
kutemukan keloneng benang
hearts sunyiku
menganga liang: ombak Panas
arusmu Terbakar di lautan jingga
kujilat nanah di luka Korban
kauletakkan krakatau Ke hearts diriku
Ialu kubuat PETA bumi Yang baru
DENGAN pisaumu
kusemai benihmu dalam lambai dan salam
cambuk ombak melecut hari.
lahirlah sapi Yang menanduk kebosanan
kutemukan keloneng benang
hearts sunyiku
menganga liang: ombak Panas
arusmu Terbakar di lautan jingga
kujilat nanah di luka Korban
kauletakkan krakatau Ke hearts diriku
Ialu kubuat PETA bumi Yang baru
DENGAN pisaumu
Demikian postingan pada pagi ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi D. Zawawi Imron. Wassalamu'alaikum ....
No comments:
Post a Comment