SANTRI MODERAT News: Kumpulan Puisi D Zawawi Imran

Friday, February 15, 2019

Kumpulan Puisi D Zawawi Imran


Assalamu'alaikum . selamat berjumpa dengan blog Santri Moderat. Pada kesempatan inisaya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi  D. Zawawi Imron .Langsung saja ya….

D. Zawawi Imron  lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Dia mulai terkenal di percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982.

Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku terbaik yang diterima oleh Yayasan Buku Utama pada tahun 1985.

Pada tahun 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam kerangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini ia menjadi Pesantren Ilmu Giri Anggota Dewan Pengasuh (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Seminar Pembicara Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai Budayawan Madura.

Pada tahun 2012 dia menerima penghargaan  “The SEA Write Award”  di Bangkok, Thailand, The SEA Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan untuk para penulis di kawasan ASEAN. Selain itu pada tahun 2012, pada bulan Juli, dia juga meluncurkan buku puisinya yang berjudul "Mata Badik Mata Puisi" di Makassar, mengumpulkan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.

Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.



IBU 
jika aku merantau lalu datang musim kemarau 
sumur, sumur, daunan pun, bersama 
saja, ulang mataair airmatamu ibu, yang tetap efisien ketika 

aku merantau 
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku 
di hati ada mayang siwalan dipulihkan sari-sari kerinduan 
lantaran hutangku padamu tak bisa kubayar 

ibu adalah gua pertapaanku 
dan ibulah yang memenuhi aku di sini 
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang 
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi 
aku mengangguk ditanggapi kurang baik membantu 

akumu ibarat samudra jauh 
lauitan teduh 
tempatku mandi, lumut 
ditayangkan tempatku naik, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua 
bagiku ikut ujian yang lalu bertanya tentang pahlawan 
namamu ibu, yang kan kusebut paling dulu 
lantaran aku tahu 
melahirkan ibu dan aku anakmu saat 

aku pergi lalu datang angin sakal 
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal 

ibulah akan, bidadari yang berselendang bianglala 
sesekali datang meminta 
menyuruhku menulis langit biru 
dengan sajakku
(1966)




SENANDUNG NELAYAN
 
 angin yang sekarang letih
bersujud di pelupuk ibu
laut! apakah pada debur ombakmu
terangkum sunyi ajalku?
oi, buih-buih zaman saling memburu

kali ini doaku lumpuh 
gagal mengusap tujuh penjuru
pada siapa 'kan kulepas napas cemburu? 
jika disebut air mata adalah permata
tolong simpan di jantung telukmu! 
dari bisik ke bisik perahu beringsut maju

jika nanti bulan datang menyingkap puzzle-tekimu
tak sia-sia kujilat luka purba 
tempat senyum menetas
jadi iman dan layar

(1976)




BULAN TERTUSUK LALANG

Bulan Tertusuk Lalang 
bulan rebah
  angin lelah di atas kandang
 kelelawar cicit-cicit
 menghimbau di ubun bukit
 di mana kelak kujemput anak cucuku
 menuntun sapi berpasang-pasang
 angin termangu di pohon asam
 bulan tertusuk lalang
 tapi malam yang penuh belas kasihan
 menerima semesta bayang-bayang
 dengan mesra menidurkannya
 dalam ranjang-ranjang nyanyian

(1978)




KERAPAN

1
saronen itu ditiup orang
darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi
 sarapan siang
 Biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkut
orang ke sampan
 sampai kapan ya, ujung lalang itu mengakhiri awan?

ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang
 tapi ekorku panjang disentak anak di bumi
sampai aku turun kembali

tanduk yang dibungkus beludru itu tidak dibuka, nanti matahari pecah olehnya
 mendung, wahai mendung!
 jangan curahkan tangismu
 sebelum daun jati sempurna ranggasnya
 maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul
 dan jika putus nadimu, jangan khawatir
 denyutmu akan terus hidup di laut

3
 Datang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis
 kemenangan
 arya wiraraja! meminta aku menang
 aku meloncat dan terjun di lapangan
 aku tertidur dan mimpiku aneh,
 kuterima piala
 terdiri dari tengkorak
 yang dari dalam berdentang sebuah lonceng

4
 sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis
 suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
 larimu kencang melangkahi rindu jadi topan senang
 mengecup dahimu
 jangan mungkir, bulan harus tidur dalam hatimu
 bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu
 bila kau tak sanggup berpacu lagi
 dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu

5
 soronen itu masih saja ditiup orang
 embun terangkat, kaki-kaki mengalir
 dari saujana ke saujana
 tuhan!
 tanah lapang tidak perlu jauh

(1978)




PERJALANAN LAUT 
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang akan 
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam 
kelopak. 
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati 
uutih milik pertapa? 
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, 
ular pada saat menuju laut karena wangsit ternyata boneka 
cantik yang berisikan bom waktu. 
kompilasi kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal 
memulihkan teriak gagak. 
lampu-lampu memainkan laut, memainkan malam api, jiwaku yang 
berpancang bulan sabit kadang-kadang menyimpan atas pasang dan 
tenggelam dalam surut.
(1978)




KETEMU JUGA AKHIRNYA

kucari sosok tubuhmu 
pada bias sukma di langit
Meski langit tak mungkin menjadi kenangan indah
 nyatanya kau termangu di tikung sungai
 merenungi percakapan daging dan tulang
 ketemu juga akhirnya
 bayang-bayang yang akan kekal
 terkatung pada nyanyian penyesalan
 jika besok kubangun bendungan di sungai hijau
 maka air harus mengalir
 Menerima roh-roh yang belum pulang

(1979)




Kolam

kutunjukkan padamu sebuah kolam
 hai, jangan tergesa bawa menyelam!
di situ sedang mekar setangkai kata
 yang para pendeta tak tahu maknanya
 Dari hasil petualangan capung yang biru itu?
 ia datang tanpa salam dan pergi tanpa pamitan
 tapi ekornya
 jelas menuding pusat keheningan
 kompilasi langit jadi gulita
 senandung malam makin mendasar
 dari kolam itu tumbuh keikhlasan
 Bertujuan sujud yang paling tunjam

(1979)




DI BUKIT WAHYU

Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku ingin tahu yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
 "Kun!" Perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Kaubedakan sejuta bau.
 Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari kembali ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari kepodang di pohon kenanga.

(1979)




SUNGAI KECIL 
sungai kecil, sungai kecil! apa yang bisa kulakukan? 
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi? 
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di daunmu 
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam 
doaku 
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di negara asalmu 
asalmu? 
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani dengan 
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar 
para perampok yang mandi juga menikmati sejuk airmu 
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah ke rongga jantungku 
dan jika kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang 
jelita kutambah buat kekasihku.
(1980)




ZIKIR 
alif, alif, alif 
alifmu pedang di tanganku 
susuk di dagingku, kompas di hatiku 
alifmu Tegak Jadi Cagak, meliut Jadi belut 
Hilang Jadi angan, Tinggal bekas menetaskan terang 
Hingga aku berkesiur 
PADA angin Kecil akdir-mu 
hompimpah hidupku, hompimpah Matiku, 
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah, 
hompimpah! 
kugali hatiku dengan linggis alifmu 
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai, 
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang 
mengerang menyebut alifmu 
alif, alif, alif! 

alifmu satu tegak 
di mana-mana
(1983)




DIALOG BUKIT KEMBOJA 
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah 
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah 

Seorang nenek, pendapatnya tua meminta jarum cemburu 
meminta, mengatakan aku berdoa di kubur itu 

"Aku anak almarhum," jawabku dengan suara gelas jatuh 
pipi keriput itu menghemat bekas sayatan waktu 

"Lewat berpuluh kemarau harus 
kubersihkan kubur di depanmu 
karena kuanggap kubur anakku ” 

Hening merangkak lambat bagai langkah siput 
Tanpa sebab senyumnya lalu merekah 
Seperti puisi mekar di lembar bunga basah 

“ Anakku mati di medan pertempuran, 
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir 
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Saat itu lagu jadi agung di 
derap pada bercak darah yang lebih lenyap ” 

Jadi di lembah membias rasa syukur Di 
hijau ladang sayur, bebas laut debur 

“ Aku sudah mulai mencari kuburnya dari sana ke mana 
Tak kutemu. Tak ADA Yang industri tahu 
Sedangkan Aku Ingin ziarah, menyampaikan terimakasih 
differences gugurnya: Mati Yang direnungkan melati 
Kubur Suami memadailah, mewakilinya untuk review” 

“TAPI ayahku sepi pahlawan 
Tutur orangutan terdekat, Saat besarbesaran wafat 
jasadnya Hanya Satu Tingkat di differences ngengat 
TAPI besarbesaran Tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu ” 

“ Apa salahnya kalau sesekali 
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu 
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku ke musuh jadi luruh ” 

Sore pergi ke dalam remang 
Ke kelepak kelelawar 

“ Hormatku padamu, nenek! KARENA Engkau 
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong 
beri aku Apa Saja, kata ATAU Senjata “! 

‘Aku orangutan Tak Bisa Memberi, padamu bisaku cuma Minta: 
JIKA Engkau bambu, jadilah Saja Bambu Runcing 
! Jangan sembilu, ATAU Yang membungkuk Depan sembilu’ 

Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak 
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang 
memperdengarkan gamelan doa 
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah 
pada luka anak-anak desa di 
bawahnya untuk memberi hormat 
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak seperti untuk palu
(1995)




HANYA SEUTAS PAMOR BADIK
Dalam tubuhku Kau nyalakan dahaga hijau 
Darah Terbakar nyaris Ke nyawa 
Kucari hutan 
Sambil berdayung di hati Malam 
Bintang-Bintang mengantuk 
Menunggu giliran matahari 
Ketika Kau Tegak merintis pagi 
Selaku musafir kucoba mengerti: 
Ternyata Aku Bukan Pengembara 
Kata-kata Dan Peristiwa 
Telah lebur PADA Makna 
Dalam aroma rimba dan waktu 
Hanya seutas pamor badik, tapi 
Tak kunjung selesai dilayari




SEBUAH ISTANA 
Tepi jalan antara sorga dan 
neraka Kumasuki sebuah istana 
Tempat sejarah diperam 
Menjadi darah dan gelombang 
Lewat jendela di sebelah kiri 
Kulihat matahari menjulurkan lidah 
Seperti anjing lapar 
Aku makin tak tahu ' 
mengapa orang-orang-orang-orang yang membantah-mukul perutnya 
Jauh di dalam batas gaib dan benar-benar 
Kabut 
Kutarik napas dalam-dalam 
Dan kupejamkan mata 
Alangkah kecil dunia!




TELUK 
Kaubakar gema di jantung waktu 
Bibir pantai yang letih nyanyi 
Sembuh oleh laut yang berloncatan 
Memburu takdirmu yang menderu 
Dan teluk ini 
Yang tak berpenghuni gundah dan lampu 
Memberangkatkan dahaga 
Berkendara seribu Pencalang 
Ke arah airmata menjelma Tiger 
Pohon-pohon nyiur pun yakin 
Janjimu akan tersemai 
Dan di barat piramid jiwa 
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja 
Senyum pun kekal yang didukung




MENYANDARKAN DIRI KE PILAR
Menyandarkan diri ke pilar 
Langit pun menggelegar 
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu 
Masih berduri bintang-bintang 
Titik aku akan melengkung 
Ternyata tengah 
tengah tangga menuju sorga akan naik di tempat ini 
Memang aku tahu 
jasnya terasa kelopak duka 
Tapi Aku masih punya sisa gerak 
Masih bergerak mungkin dosa 
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba 
Sesaat heningmu yang kencana 
Merangaskan waswas yang lebat bunga




DARI KANDANG KE LADANG 
Buat Anang Rahman

Sekitar tempat itu mekarlah kesegaran 
Harapan di ujung 
rentang Menyiduk-nyiduk gelagat danau 
(Anak-anak lapar menjilat langit biru 
menuntut sujudku Diperbesar 
Siang itu tersiram susu 
Mesjidku tinggi 
Tegak di delta sungai jiwaku 
Di sini 'kan kuambil sejuta bisik 
Buat mengetuk semesta pintu) 
Dari tempat itu 
Berguna sebuah titian 
Di bawahnya jurang maha di  
Tempat cuci perasaan




PADANG HIJAU 
Sejuk punah singgah 
Memeluk nisan demi nisan 
Gerimis sakit memetik kecapi 
Maka tebaklah dalam lautan! 
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai 
Diamku membuat udara laut tersibak 
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang! 
Bersama Musa dan mereka yang beriman 
Mencari sarang angin 
Aku serasa tiba tiba di padang 
Di gigir langit, selendang-selendang merah 
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah 
Padang hijau berpusar telaga 
Letaknya di jantung Bunda




ZIARAH 
Terkenang Sultan Hasanudin

Ah debu Namanya 
Yang menyayikan Daunan gugur 
Gelisah mengomel-mengomel terasa Anda 
PADA siang di pekuburan 
Dan gadis-gadis Datang 
Menjelma selendang ungu 
SEMENTARA di perbukitan 
Menderu burung derkuku 
Ah, debu also Namanya 
Yang mengabarkan Ziarah ITU 
Siang Jadi Berarti 
Dalam busukan kembang-kembang 
Badik yang tidur akan bangun  
Hanya menunggu Sangkakala




PERCAKAPAN DI SATU DESA 
Nanti malam, apa jadi pulang ke rumah? 
Isteriku membuat dodol biji mangga 
Kita makan di halaman 
Berdua kita pecaahkan 
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang 
Buat atap gubukku 
Ajaklah Sidun, aku senang 
Lantaran ketawanya yang menggelegar dapat 
mengganjal jiwaku yang sedang lapar 
Nanti malam, apa bisa jadi rumah? 
Di bawah bulan yang mulai pulih dari gerhana 
Sambil menunggu gerhana bulan 
Bagaimana bisa kutebus 
Sawah ladangku yang masih tergadai




KAFILAH NURANI I 
Sesal Dan Lelah 
Memang Milik Manusia 
Menang Dan Kalah 
Kita terima DENGAN senyum Yang Lega 
Derap Yang Mengalir di dasar dasar sungai purba 
Sebut Saja airmata arwah 
Meminum Jangan SETETES 
Sebab dahaga can also menggelapkan mata 
Tenggaklah sepuas-puasnya 
Sampai Senyummu mawar 
Dan matamu sinar Yang Pijar 
Saat langit Dan bumi bersatu dalam Sabda 
Tibalah, 
Kau Kau badik cahaya dari sarung sejarah




SARANG 
Cahaya senja Yang merah 
Sampai also Ke hearts KAMAR 
Menjagakan kelewang Yang Tidur 
Dari mesjid terdengar zikirmu 
Maka Perang pun Mulai 
Bayang-bayang Yang Kabur PADA Dinding 
Melarikan berita Ke ombak gasing 
Aku Hanyalah Kegelapan 
Yang mendesah Ke hutan-hutan 
Oleh bercak-bercak Darah 
Dalam sarang 
Yang kau buat dari 
kabut Kelewang itu diam 
Menikmati madu di danau hati




LOSARI TENGAH MALAM 
Dengan Putera-puteri Arsal

Malam begini dingin pun diantar kecipak selat 
Langit yang putih oleh keselamatan 
Masih juga keselamatan bulan 
Untuk perbincangan kata-kata 
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan 
Zaman juga telah 
bertukar Yang dulu dapat dibeli  
Sekarang pisang makan, O, sejarah! 
Kubiarkan diriku Hanyut 
Ke laut lain Tempat Bintang-Bintang Berlayar 
Kami Ingin bercakap Sampai Parau 
Bukan KARENA Risau 
PADA menyanyikan Waktu Yang Bagaikan lautan Tenang  
Kami Harus menyalakan Gelombang




HUTAN 
Lagumu gemuruh 
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng 
Di hutan-hutan sangsiku 
Angin yang runtuh dari pohon-pohon 
Menjelma permadani di lembah timur 
Kuhitung tahun-tahun 
Yang bergerak mega dan mega 
Dan hujan yang menyerbu dari gua 
Mengekalkan diamku di ketiak batu 
Gemuruh juga 
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba 
Dalam begini kau sebagai pertapa 
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu 
Tombak pun jadi tersenyum di batu




MADURA AKULAH DARAHMU 
di atasmu, bongkahan batu yang bisu 
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa 
biar berguling di atas duri hati tak kan luka 
tergantung mengeram di dalam cinta tak kan layu 
dari aku 
anak sulung yang anak-anak bungumu sekarang 
kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah lihat 
aku sapi karapan 
yang lahir dari senyum dan airmatamu 

seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah, 
sebasah madu hinggaplah yang mengandung 
biru langit moyangku, ditambal emas 
tambang, arakan parau sekarat tujuh negara di 

sini 
perkenankan aku berseru: 
-madura, engkaulah tangisku kalau perlu 

musim dingin 
kubasahi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang 
kubajak Kau DENGAN tanduk logamku 
di Atas Bukit garam 
kunyalakan otakku 
lantaran aku adalah sapi karapan 
Yang menetas Dari senyum Dan airmatamu 

aku lari Mengejar ombak aku terbang Memeluk Bulan 
Dan memetik Bintang-gemintang 
di ranting-ranting roh nenekmoyangku 
di Ubun langit kuucapkan sumpah 
- madura, akulah darahmu.




TEMBANG DAHAGA 
airmata langit yang menetes perlahan 
menghindar dari mulut bunga 
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu 
hingga tertulis prasasti sejak kapan saja dimulai 
gelisah 

lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga saat ini 
tak ada pemah dusta? 
bunga meludah dan terus meludah 
sampai langit sempurna merahnya 

bulan terlentang kematian warna 
tak kuat lagi memukul dahaga 
ia menolak tetek cucunya




KUPERAM SUKMAKU 
kuperam sukmaku di ketiak karang 
kusemai benihmu dalam lambai dan salam 
cambuk ombak melecut hari. 
lahirlah sapi Yang menanduk kebosanan 

kutemukan keloneng benang 
hearts sunyiku 

menganga liang: ombak Panas 
arusmu Terbakar di lautan jingga 

kujilat nanah di luka Korban 
kauletakkan krakatau Ke hearts diriku 
Ialu kubuat PETA bumi Yang baru 
DENGAN pisaumu


Demikian postingan pada pagi ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi D. Zawawi Imron. Wassalamu'alaikum ....

No comments:

Post a Comment

Berita Terkait

LOGO BAANAR PNG